Monday, 27 April 2015

Perjalanan Diri dalam Mengalami Kebahagiaan

Perjalanan Diri dalam Mengalami Kebahagiaan

“Kebanyakan orang bahagia oleh apa yang ditetapkan dalam pikiran mereka” (Abraham Lincoln).  Dalam perjalanan hidup yang Saudara jalani, Saudara harus mengerti maknanya karena kalau tidak iman Saudara bisa kandas di tengah perjalanan.  Apabila Saudara berpikir bahwa hidup semuanya tentang Saudara maka itulah yang membuat Saudara semakin menderita dan tidak akan menemukan kebahagiaan sama sekali.  Bahagia atau tidak adalah pilihan karena ini berbicara tentang kondisi pikiran.

Kita bisa menentukan kebahagiaan dengan menentukan kondisi pikiran.  Namun tidak cukup hanya sampai pada pengondisian pikiran, tapi harus mengerti makna hidup yang sesungguhnya.  Lalu dalam kondisi kehidupan, kita mau menghadapinya dengan senang atau dengan stres?  Ini sebuah pilihan.  Kemudian untuk menjadi bahagia kita perlu melakukan kegiatan dengan sukarela.  Kita bisa sukses, tapi dalam kesuksesan kita bisa melakukan sesuatu tidak dengan sukarela dan hasilnya pasti tidak enak.  Hidup yang seperti itu namanya hidup dalam perbudakan.  Kita bisa melakukan apa yang sudah ditargetkan atau bisa melipatgandakan target.  Namun apabila dalam melakukannya tidak dengan senang hati berarti mentalitas kita masih budak.  Mental ini yang harus disingkirkan.  Kalau tidak, kita tidak akan sampai ke tanah perjanjian.  Firman Tuhan berkata apapun yang kamu kerjakan, kerjakanlah dengan senang hati.       
Berikut adalah cerita tentang perjalanan hidup Abraham Lincoln.  Abraham Lincoln mengalami banyak kegagalan dalam hidupnya, tetapi dia tidak mengasihani diri sendiri dan terus mencapai apa yang dia inginkan.  Abraham Lincoln lahir pada tahun 1809, diusir bersama keluarganya dari tanah milik mereka pada usia 7 tahun.  Ditinggal mati ibunya usia 9 tahun.  Usia 22 tahun sempat menjadi staf administrasi toko tapi dipecat, lalu ia terjerat hutang pada bisnisnya.  Ia membutuhkan waktu 17 tahun untuk melunasi hutangnya.  Lalu ia mencalonkan diri sebagai anggota legislatif dan gagal.  Berbisnis lagi dan gagal.  Usia 25 tahun ditinggal mati kekasihnya.  Usia 29-31 tahun, 2 kali mencalonkan diri sebagai anggota legislatif dan keduanya gagal.  Usia 33 tahun menikah dan mengalami banyak pende ritaan dalam perkawinannya.  Usia 34 gagal menjadi anggota kongres.  39 tahun ditinggal mati ketiga anaknya.  45 tahun kalah dalam pemilihan anggota senat.  47 tahun kalah dalam pemilihan menjadi presiden.  Kemudian kalah lagi dalam pemilihan anggota senat 2 tahun berikutnya.  Akhirnya pada usia 51 tahun ia terpilih menjadi presiden Amerika Serikat.  Abraham Lincoln bisa saja bunuh diri atau masuk ke rumah sakit jiwa, tapi ia bertahan dan tidak melakukan tindakan bodoh.  Ia berkata “tidak penting berapa kali Anda gagal, tapi yang penting berapa kali Anda bangkit”.  Kegagalan itu tidak ada yang abadi.  Kegagalan hanyalah keberhasilan yang tertunda.  Apakah cerita ini menginspirasi Saudara?  Sudah berapa kali anda gagal?  Ini waktunya Saudara untuk bangkit lagi.
“Kita berada di sini bukan untuk dihukum. Kita berada di sini untuk dididik. Setiap kejadian berpotensi mengubah kita, dan bencana paling berpotensi untuk mengubah cara berpikir kita. BERSIKAPLAH SEOLAH-OLAH SETIAP KEJADIAN ADA MAKSUDNYA, MAKA KEHIDUPAN ANDA AKAN ADA MAKSUDNYA.”  Jadi jangan takut dengan bencana.  10% masalah berasal dari luar Saudara.  90% adalah bagaimana sikap Saudara dalam mengatasi masalah itu.  Banyak alasan kita untuk menyalahkan orang lain padahal kita sendirilah yang menentukan hidup kita
yang namanya “bisa”. Waktu perjalanan ke bandungan, mobil saya rusak dan saya harus mencari sparepart-nya.  Hari itu libur dan saya tidak tahu.  Mungkin kalau saya tahu saya malah tidak mencari karena toko-toko pasti tutup.  Kemudian saya mencari sparepart itu sampai ketemu karena saya ada tanggungjawab.  Dalam waktu setengah jam saya harus mendapatkannya karena saya harus segera kembali ke atas (Bandungan).  Singkat cerita saya menemukan barangnya, tapi menurut saya itu masih mahal harganya.  Lalu saya berkeyakinan bahwa di tempat lain ada yang lebih murah dengan barang yang sama.  Ternyata keyakinan saya benar, saya mendapatkan barang yang lebih murah tapi sama dengan barang yang mahal tadi.  Saya ingin menunjukkan gambaran keyakinan.  Keyakinan lebih kuat daripada pengondisian standar manusia yang sudah ditetapkan.  Kemudian ada sebuah cerita lagi.  Saya pernah mencari sambungan pipa jam 6 pagi padahal toko-toko biasanya buka jam 8.  Namun kenyataannya saya mendapatkannya.  Dulu waktu zaman Maranatha, saya pernah disuruh mencari semen jam 12 malam dan saya bisa memperolehnya.  Jangan tangkap seberapa kerasnya, tetapi ini semua berbicara tentang keyakinan.  Keyakinan lebih kuat daripada aturan-aturan yang ada.  Ini yang harus kita lakukan pada waktu memberitakan Injil.  Kita harus keluar dari aturan-aturan baku yang ada.  Saya tidak memiliki agenda waktu memberitakan Injil, tapi saya memiliki keyakinan dan selanjutnya baru agenda.  Bukan agenda dulu yang pertama.  Selama kita yakin bisa, kita pasti bisa.  Tinggal masalah caranya yang harus kita cari.  Dalam Lukas 11:9, dikatakan mintalah.  Kita harus sungguh-sungguh meminta maka kita akan diberi.  Desakan yang nyata harus benar-benar terjadi untuk apa yang kita impikan.  Tidak ada alasan untuk tidak bisa, asal kita tahu caranya.
Selanjutnya masuk ke bagian “ahli”.  Saudara harus masuk ke ahli.  Sadar atau tidak sadar manusia sering menjadi ahli di tempat di mana manusia sering berlatih atau praktek.  Sering terbiasa pasti menjadi ahli.  Apabila sudah menjadi ahli, dia pasti tahu perbedaan yang tipis-tipis.  Ibaratnya barang KW 1 dengan KW 1,5 saja dia bisa tahu.  Jika tidak ahli maka bisa tertipu dari luarnya.  Luarnya bagus tapi dalamnya busuk.  Dari ”bisa” ke “ahli” itu banyak pengorbanan.  Selain itu juga banyak tantangan, kompetisi, latihan, dan disiplin, ini semua adalah perjalanan untuk menjadi seorang ahli.

Perjalanan selanjutnya adalah menjadi “pemberi”.  Secara daging pasti enak diberi, tapi jika Saudara sudah sampai pada spirit maka Saudara akan suka memberi daripada diberi, seperti perkataan firman Tuhan.  Pemberi itu contoh atau teladan (Kis 20:35).  Ini bukan masalah hitung-hitungan, tapi kebahagiaan dalam memberi itu asalnya dari dalam hati.  Injil juga disampaikan kepada orang dengan hati yang seperti ini.  Memang lebih baik memberi daripada menerima.  Contohnya adalah Bapa di sorga yang memberikan anak-Nya yang tunggal.  Apakah Bapa bahagia?  Ya, Dia bahagia karena Dia berkata barangsiapa percaya kepada anak-Nya yang tunggal akan menperoleh hidup yang kekal.  Bapa memberikan yang terbaik.  Dia bahagia karena yang Dia hancurkan adalah pekerjaan Iblis, menyelesaikan segala masalah.  Begitu juga seharusnya Saudara.  Kalau Saudara egois (hanya memikirkan diri sendiri) maka Saudara tidak akan bisa memberi inspirasi atau menjadi contoh.  Waktu Saudara memberi pasti Saudara bahagia.
Selanjutnya tentang hal “spiritual”.  Ini dimulai ketika Saudara bertobat dan dilahirkan kembali.  Manusia sebenarnya makhluk spiritual yang tinggal di dalam tubuh dan jiwa.  Saudara harus sadar kalau Saudara adalah makhluk spiritual supaya hasil Saudara sempurna atau maksimal.  Dalam Yohanes 6:63 dikatakan bahwa perkataan Yesus adalah roh dan hidup.  Perkataan-perkataan yang menciptakan.  Perkataan yang bisa merubah pikiran kita ketika kita mendapat pewahyuan atau inspirasi.  Itulah kekuatan roh yang menggoncangkan hati dan pikiran kita.

Setelah spiritual lalu ada “kemuliaan”.  Manakah yang kita pilih: Kemuliaan kekal atau kemuliaan sementara.  Kemuliaan Tuhan hilang dari kita ketika kita jatuh ke dalam dosa (Roma 3:23).  Sehebat-hebatnya manusia dalam pencapaiannya tanpa kelahiran kembali maka dia tidak akan bisa menggapai kemuliaan Tuhan.  Waktu kita memberitakan injil sebenarnya itu mengembalikan kemuliaan Tuhan yang diberikan kepada manusia.  Dari kemuliaan ke kemuliaan adalah proses (2 Kor 3:18). Di dalamnya ada perjuangan yang sungguh-sungguh. Untuk masuk ke kemuliaan ada penderitaan yang harus dilalui (Roma 8:18).  Kita harus semakin rendah hati jika menginginkan kemuliaan yang semakin besar.  Ada sebuah perkataan “kalau naik gunung, semakin tinggi harus semakin merunduk karena kalau tidak akan terjungkal”.  Ini bukan perjalanan yang gampangan.  Namun kita yang sudah bertobat dan dilahirkan kembali tinggal memahami makna di setiap kejadian yang terjadi dalam hidup kita.


Khotbah: Hosea Hartono
Jubilee Surabaya


0 comments:

Post a Comment